SOSIOLOGI
Kependudukan
adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan, persebaran,
mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan, yang menyangkut
politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan (UndangUndang
No. 23 Tahun 2006) Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan
jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan,
kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta
ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya1
B.
Pengertian e-KTP Berdasarkan beberapa pengertian yang telah penulis
paparkan di atas Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan
jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan,
kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta
ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23
Tahun 2006 ditetapkan mengenai pengertian dari KTP antara lain sebagai
berikut: “KTP, adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang
diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Definisi
dari E-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik adalah dokumen
kependudukan yang memuat system keamananan / pengendalian baik dari sisi
administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada pada
database kependudukan nasional. Penduduk hanya di perbolehkan memiliki 1
(satu) KTP yang tercantum Nomor induk Kependudukan (NIK). NIK
merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup.
Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam
penerbitan paspor, surat Izin mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan
dokumen identitas lainnya ( sumber : pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006
tentang Adminduk).2
Ketentuan
dalam Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 ditetapkan
mengenai pengertian dari KTP antara lain sebagai berikut: KTP, adalah
identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI”. Kewajiban
untuk memiliki KTP bagi setiap penduduk warga Negara Indonesia dan
orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17
tahun atau telah kawin atau pernah kawin dimuat dalam Pasal 63 ayat (1)
Undang Undang No. 23 Tahun 2006. Disebutkan pula dalam ayat (2) dari
Pasal tersebut mengenai ketentuan bahwa orang asing yang mengikuti
status orang tuanya yang memiliki izin tinggal tetap dan sudah berumur
17 tahun juga diwajibkan untuk memiliki KTP.
Pasal
64 Undang Undang No. 23 Tahun 2006 menetapkan mengenai ketentuan
bagian-bagian yang harus diisi dalam sebuah KTP, hal ini diatur khusus
dalam ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut: KTP mencantumkan gambar
lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Republik Indonesia,
memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki
atau perempuan, agama, status perkawian, golongan darah, alamat,
pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal
dikeluarkannya KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat
yang menandatangani.
Dalam
Pasal 64 ayat (3) Undang-undang No. 23 tahun 2006 memuat mengenai
ketentuan disediakannya sebuah ruang khusus untuk diiisi dengan kode
keamanan dan rekaman elektronik pencatatan peristiwa penting yang pernah
dilakukan oleh si pemilik KTP. Pasal ini merupakan landasan hukum
diberlakukannya KTP berbasis elektronik yang harus memuat kode keamanan
dan rekaman elektronik tiap-tiap penduduk yang diharuskan memiliki
Kartu Tanda Penduduk. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan
Secara Nasional, selanjutnya disebut Peraturan Presiden Nomor 26 tahun
2009, Pasal 1 angka (3) menetapkan bahwa yang dimaksud dengan KTP
berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP
nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas
resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.
Berdasarkan pengertian yang dimuat dalam situs resmi e-KTP3
disebutkan bahwa e-KTP adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem
keamanan / pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi
informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Sementara
dalam laporan sosialisasi Kebijakan dan Peraturan Administrasi
Kependudukan yang dilakukan oleh Tim Direktorat Pendaftaran Penduduk
disebutkan mengenai pengertian Kartu Tanda Penduduk Berbasis NIK sebagai
berikut: “KTP Berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan
format KTP nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai
identitas resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana”4
C.
Kebijakan Kependudukan . Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan KTP berbasis elektronik
adalah kartu yang memuat identitas resmi penduduk sebagai warga Negara
Indonesia sebagai bukti diri yang memuat sistem keamanan/pengendalian
baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis
pada database kependudukan nasional yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI.
Proses
implementasi kebijakan melihat kesesuaian antara program yang telah
direncanakan dengan implementasinya dilapangan. Implementasinya
kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik, karena
bukan hanya berkaitan dengan halhal mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat jalur
birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan
siapa yang memperoleh kebijaksanaan5
Dr.
Elibu Bergman (Harvard university) Mendefinisikan kebijakan penduduk
sebagai tindakan-tindakan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan dimana
didalamnya termasuk pengaruh dan karakteristik penduduk. Secara umum
kebijakan penduduk harus ditujukan untuk: Kebijakan Kependudukan adalah
kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar, komposisi,
distribusi dan tingkat perkembangan penduduk. sedangkan6
- Melindungi kepentingan dan mengembangkan kesejahteraan penduduk itu sendiri terutama generasi yang akan datang.
- Memberikan kemungkinan bagi tiap-tiap orang untuk memperoleh kebebasan yang lebih besar, guna menentukan apa yang terbaik bagi kesejahteraan diri, keluarga dan anaknya.
- Kebijakan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk itu sendiri. Pemecahan masalah kependudukan dengan pengendalian kelahiran saja tidak menjamin bahwa hasilnya secara otomatis akan meningkatkan kualitas hidup penduduk yang bersangkutan atau generasi yang akan datang.
Mazmanian
dan Sabatiar menjelaskan konsep Implementasi kebijakan sebagai
berikut: “Di dalam mempelajari masalah Implementasi kebijakan berarti
berusaha untuk memahami “apa” yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijaksanaan
negara, baik itu menyangkut usaha-usaha pengadministrasian maupun
usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun
peristiwaperistiwa”7
Pada
tahun 1965 PBB mempunyai kebijakan kependudukan yang jelas dan menjadi
dasar bagi tindakan-tindakan yang nyata, walaupun badan yang bernama
“The Population Commission” dengan resmi sudah dapat disahkan pada
tanggal 3 Oktober 1946. Aktivis Sita Aripurnami menggunakan kutipan
Zillah Eisenstein, The Color of Gender (1994) ini pada baris pertama
tesis berjudul Reproductive Rights Between Control and Resistence: A
Reflection on the Discourse of Population Policy in Indonesia, yang
diajukan untuk mendapatkan Master of Science pada The Gender Institute,
London School of Economics (LSE) London, Inggris. Sungguh kutipan yang
tepat untuk menganalisis politik reduksionis dalam kebijakan
kependudukan di Indonesia, yakni bagaimana kebijakan kependudukan
direduksi menjadi kebijakan keluarga berencana; kebijakan berencana
direduksi menjadi kebijakan kontrasepsi; kebijakan kontrasepsi direduksi
lagi menjadi hanya kontrasepsi bagi perempuan.
Dari
20 (dua puluh) jenis kontrasepsi yang beredar, 90 persen di antaranya
ditujukan untuk perempuan. Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai
"salah satu transisi demografis paling mengesankan di negara sedang
berkembang". Pada masa itu tingkat fertilitas turun dari 5,5 menjadi
tiga per kelahiran, sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43
menjadi 28 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 1970, pertumbuhan penduduk
turun dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,7 persen dan turun lagi menjadi
1,6 persen pada tahun 1991. Banyak negara berkembang kemudian belajar
implementasi program KB di Indonesia. Tetapi, hampir bisa dipastikan,
dalam "transfer pengetahuan" itu tidak disebut metode yang membuat
program itu sukses; yakni koersi (pemaksaan dengan ancaman) terhadap
perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat kelas bawah, terutama
saat awal program diperkenalkan.
Di
bawah panji-panji Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (selanjutnya
disebut NKKBS), program pengendalian penduduk (KB dengan alat
kontrasepsi) dilancarkan. Seperti halnya di negara berkembang lain awal
tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru meyakini KB sebagai strategi ampuh
mengejar ketertinggalan pembangunan. Ajaran Malthusian mengasumsikan,
dengan jumlah penduduk terkendali rakyat lebih makmur dan sejahtera.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi-yang merupakan pereduksian makna
"pembangunan"-tinggi guna mencapai kemakmuran, di antara syaratnya
adalah "zero growth" di bidang kependudukan. Hubungan antara
pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menjadi semacam
kebenaran, sehingga tidak lagi memerlukan pembuktian. Dalam Konferensi
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Cairo, Mesir, 1994, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan, kebijakan kependudukan yang
reduksionis ini dikonstruksi sistematis melalui lembaga internasional.
Pertumbuhan penduduk menjadi prakondisi bantuan pembangunan.
Di
Indonesia, seperti pernah dikemukakan aktivis kesehatan reproduksi
Ninuk Widyantoro, para petugas medis hanya diajari cara memasang susuk
(nama lain dari Norplant), tetapi tidak cara mengeluarkannya. Pendarahan
dan efek samping lain pemasangan kontrasepsi di tubuh perempuan sering
dianggap tidak soal. Secara ironis pula, perencanaan program sebagian
besar dilakukan laki-laki. Angka keberhasilan KB dijadikan salah satu
komponen keberhasilan pembangunan, sehingga cara apa saja digunakan
untuk mencapai "angka keberhasilan" itu. Manusia, khususnya perempuan,
telah berubah maknanya menjadi hanya angka dan target. Caranya, tak
jarang menggunakan pemaksaan dan ancaman aparat.
Rezim
Orde Baru, seperti halnya rezim pembangunanisme di mana pun,
memperlakukan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
peledakan jumlah penduduk. Dengan demikian, mereka harus dikontrol
ketat. Program KB telah membuat alat reproduksi perempuan seperti milik
sah negara yang bisa digunakan para birokrat korup untuk mendapatkan
utang. Pelajaran masa lalu ini amat berharga, karena pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) di Indonesia salah satunya disebabkan persoalan KB.
Ke depan, kebijakan kependudukan harus dikembalikan pada hakikatnya
semula dengan menempatkan kesehatan reproduksi perempuan sebagai
landasan. Itu berarti, perempuan mempunyai hak mengontrol tubuhnya untuk
bebas dari paksaan, kekerasan serta diskriminasi pihak mana pun. Akses
pada pelayanan kesehatan reproduksi harus dibuka untuk siapa pun.
Proses demokrasi harus dimulai dari persoalan ini.
Konperensi
kependudukan dunia dilaksanakan oleh PBB tahun 1954 di Roma.
Kehati-hatian mewarnai penyebutan masalah kepadatan penduduk. Pro-kontra
terjadi tentang adanya masalah kepadatan penduduk. Tahun 1954-1965
laporan-laporan tentang tekanan-tekanan yang disebabkan oleh kepadatan
penduduk dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial dalam bentuk
angka-angka stastistik membuka mata dunia akan adanya masalah
kependudukan. Hal ini tercermin dalam konperensi kependudukan dunia
kedua yang dilaksanakan oleh PBB di Beograd tahun 1965. Sejak konperensi
ini masalah kependudukan dinyatakan sebagai masalah dunia yang harus
segera ditangani.
Pada
hari HAM 1968, dicetuskan Deklarasi pemimpin-pemimpin dunia tantang
kependudukan. Deklarasi itu diterima sebagai resolusi XVII dalam
konperensi tentang HAM di Teheran pada tanggal 12 Mei 1968. Presiden
Indonesia merupakan salah seorang dari 30 orang kepala negara yang turut
menendatanganinya.
Pertumbuhan
penduduk yang terlalu cepat sangat merintangi taraf hidup, kemajuan,
peningkatan kesehatan dan sanitasi, pengadaan perumahan dan alat-alat
pengangkutan, peningkatan kebudayaan, kesempatan rekreasi dan untuk
banyak nagara merintangi pemberian pangan yang cukup kepada rakyat.
Ringkasnya cita-cita manusia seluruh dunia untuk memperoleh kehidupan
yang lebih baik diganggu dan dibahayakan oleh pertumbuhan penduduk yang
tak dikendalikan itu.
Pernyataan
Bersama PBB mengenai kependudukan oleh Sekjen PBB 10 Desember 1966
adalah: “Kami para pemimpin Negara-negara yang sangat memperhatikan
masalah kependudukan sependapat bahwa:
- Masalah kependudukan perlu menjadi unsur utama dalam rencana pembangunan jangka panjang bila negara itu ingin mencapai tujuan ekonomi yang dicita-citakan oleh rakyat.
- Sebagian orang dari para orang tua ingin memperoleh pengetahuan tentang cara-cara merencanakan keluarga dan adalah hak tiap-tiap manusia untuk menentukan jumlah dan menjarangkan kelahiran anaknya.
- Perdamaian yang sesungguhnya dan kekal sangat bergantung pada cara kita menanggulangi pertumbuhan penduduk.
- Tujuan Keluarga Berencana adalah untuk memperkaya kehidupan umat manusia bukan untuk mengekangnya; bahwa dengan keluarga berencana tiap-tiap orang akan memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk mencapai kemuliaan hidup dan mengembangkan bakatnya.
- Sadar bahwa gerakan keluarga berencana adalah untuk kepentingan keluarga dan negara maka kami para penandatanganan sangat berharap pemimpin-pemimpin seluruh dunia menyepakati pernyataan itu.
Deklarasi
kependudukan tersebut, merupakan pangkal tolak dari dilaksanakan
program kependudukan atas dasar kebijakan kependudukan tiap Negara.
Sekarang sebagian besar dari negara-negara anggota PBB telah memiliki
kebijakan kependudukan termasuk Indonesia. Dalam menentukan suatu
kebijakan tentang kependudukan yang penting adalah memperhatikan
kualitas penduduk itu sendiri, stabilitas dari sumber-sumber kehidupan
mereka, kelangsungan adanya lapangan kerja, standar kehidupan yang
menyenangkan, dimana keamanan nasional maupun kebahagiaan perorangan
harus diperhitungkan.
Kebijakan
kependudukan dapat dilakukan melalui tiga komponen perkembangan
penduduk yaitu : kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan
perpindahan penduduk (migrasi). Mencegah pertumbuhan penduduk
sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti : peningkatan
migrasi keluar, peningkatan jumlah kematian atau penurunan jumlah
kelahiran.
Cara
yang pertama sulit kiranya untuk dilakukan sebab semua negara di dunia
ini melakukan pengawasan dan pembatasan orang-orang asing pendatang
baru, sehingga mempersulit terjadinya migrasi secara besar-besaran.
Juga tidak mungkin diharapkan bahwa pemerintah berani menjalankan
kebijakan peningkatan jumlah kematian. Jadi satu-satunya cara yang
tinggal adalah dengan menurunkan jumlah kelahiran. Keuntungan pertama
yang nyata dari hasil penurunan jumlah kelahiran adalah perbaikan
kesehatan ibu dan anak-anak yang sudah ada, dan penghematan pembiayaan
pendidikan.
Usaha
memecahkan kepadatan penduduk karena tidak meratanya penyebaran
penduduk, seperti terdapat di Jambal (Jawa, Madura, dan Bali) adalah
dengan memindahkan penduduk tersebut dari pulau Jawa, Madura, dan Bali
ke pulau-pulau lain. Usaha ini di Indonesia dikenal dengan nama
“Transmigrasi” dan telah ditempatkan pada prioritas yang tinggi.
Disamping migrasi, masalah lainnya perlu dipecahkan adalah perpindahan
penduduk dari daerah peKelurahanan ke daerah perkotaan, yang dikenal
dengan nama “Urbanisasi”.
Menurut
hasil sensus 1980, 18,8% dari jumlah penduduk Indonesia bermukim di
daerah kota. Setengah abad yang lalu jumlah penduduk kota di Indonesia
telah berkembang lebih cepat daripada perkembangan penduduk Indonesia.
Hampir sepertiga dari pertambahan penduduk Indonesia dalam dekade
terakhir ditampung oleh daerah perkotaan. Masalah yang timbul adalah
belum siapnya kota-kota tersebut untuk menampung pendaftar baru yang
melampaui kemampuan daya tampung kota-kota tadi.
Secara
garis besarnya tujuan kebijakan kependudukan, adalah sebagai berikut:
memelihara keseimbangan antara pertambahan dan penyebaran penduduk
dengan perkembangan pembangunan sosial ekonomi, sehingga tingkat hidup
yang layak dapat diberikan kepada penduduk secara menyeluruh.
Usaha
yang demikian mencakup seluruh kebijakan baik di bidang ekonomi,
sosial, kulturil, serta kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan
pendapatan nasional, pembagian pendapatan yang adil, kesempatan kerja
dan pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Strategi yang digunakan
adalah jangka panjang maupun jangka pendek.
Di Indonesia tujuan jangka panjang diusahakan dapat dijangkau dengan:
- Peningkatan volume transmigrasi ke daerah-daerah yang memerlukannya.
- Menghambat pertumbuhan kota-kota besar yang menjurus kea rah satu-satunya kota besar di suatu pulau tertentu dan mengutamakan pembangunan peKelurahanan.
Tujuan
jangka pendek diarahkan kepada penurunan secara berarti pada tingkat
fertilitas, peningkatan volume transmigrasi setiap tahunnya dan
perencanaan serta pelaksanaan urbanisasi yang mantap.
Program-program kebijakan yang disusun untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
- Meningkatkan program keluarga berencana sehingga dapat melembaga dalam masyarakat. Termasuk semua program pendukung bagi keberhasilannya seperti peningkatan mutu pendidikan, peningkatan umur menikah pertama, peningkatan status wanita.
- Meningkatkan dan menyebarluaskan program pendidikan kependudukan.
- Merangsang terciptanya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
- Meningkatkan program transmigrasi secara teratur dan nyata.
- Mengatur perpindahan penduduk dari Kelurahan ke kota secara lebih komprehensif di dalam perencanaan pembangunan secara menyeluruh.
- Mengatasi masalah tenaga kerja.
- Meningkatkan pembinaan dan pengamanan lingkungan hidup.
Kebijaksanaan
kependudukan secara menyeluruh harus memperhitungkan hambatan-hambatan
dari segi politis, ekonomis, sosial, budaya, agama juga dari segi
psikologis perorangan dan masyarakat yang di negara-negara berkembang
masih cenderung mendukung diterimanya banyak anak.
Program-program
“beyond family planning” harus lebih diintensifkan dan diekstensifkan.
Di samping usaha peningkatan produksi dalam segala bidang kebutuhan
hidup penduduk (pangan, sandang, rumah, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain), perlu ditingkatkan usaha yang berhubungan dengan:
- Pelaksanaan wajib belajar dan perbaikan mutu pendidikan.
- Perluasan kesempatan kerja.
- Perbaikan status wanita dan perluasan kesempatan kerja bagi mereka.
- Penurunan kematian bayi dan anak-anak.
- Perbaikan kesempatan urbanisasi.
- Perbaikan jaminan sosial dan jaminan hari tua.
Sumber :
- 1 http://graziabrigita.blogspot.com/2013/02/pengertian-kependudukan-danpengertian.html, diakses tanggal 1 Desember 2013
- 2 www.Wikipedia.com, diakses tanggal 1 April 2014
- 3 Rizky Nugraha, “Perancangan Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) Sebagai Pengembangan E-Government menuju Good Governance” data diakses tanggal 21 Oktober 2012, available from: URL:http://ikymessi.wordpress.com, diakses tanggal 1 Desember 2013
- 4 Kementerian Dalam Negeri, (Cited: 2012 Okt. 5), available from: URL: http://www: e-ktp.com, diakses tanggal 1 Desember 2013
- 5 Wahab,S. A. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara,1997, hal 59
- 6 Siasah Masruri, Muhsinatun,dkk.Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.Yogyakarta:UPT MKU UNY,2002, hal 2
- 7 Mazmanian dan Sabatiar, dalam Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal 123.